Catatan Perjalanan Pendakian Rinjani (3726 Mdpl)

(Rinjani terletak di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat. Sebelum meletus 11,000 tahun yang lalu, gunung ini mencapai ketinggian 5,000 Mdpl, namun letusannya melontarkan bagian atas gunung ini hingga menjadi 3726 Mdpl, dan membentuk cekungan yang kini menjadi Danau Segara Anak)

Berangkat (1 Juni 2007)

Jam 3 pagi sebelum alarmku belum berbunyi, aku mendengar suara gaduh, kepalaku masih pusing akibat tidur jam 24.00 karena mempersiapkan perlengkapan yang akan dibawa. Ternyata suara teman-teman kost yang baru pulang dugem. Semua warga warga kost-an ikutan. Mereka mengucapkan selamat jalan kepadaku, lalu pamit tidur. Mbak Titik menelepon membangunkan aku, seperti permintaanku sebelumnya kepadanya. Dipagi buta itu, akupun mandi

Jam 04.30 suasana masih sepi dan remang ketika aku tiba dipangkalan bis Damri Blok-M – Cengkareng. Tak disangka, ternyata ada teman kantor yang akan berangkat ke Jambi, jadilah sepanjang jalan kami ngerumpi masalah kantor. Sesampai dibandara, saat menunggu giliran cek in, dia masih sempat menemani, lalu kemudian pamit ke ruang tunggu saat aku bertemu dengan rombongan Highcamp yang juga menuju Lombok hari itu. Ada bang Hendri, Bang Kamser dan Yadi.

Setelah cek in, masih tersisa banyak waktu untuk kami sarapan didekat terminal 1A. Lalu Bang Kamser dan Yadi menuju ruang tunggu yang berbeda karena naik pesawat yang berbeda dengan kami. Diruang tunggu, satu persatu teman-teman yang akan naik pesawat yang sama mulai berdatangan, ada Bunda (archa) dan teman-temannya yang akan menuju Semeru (Jawa Timur), rombongan Highcamp (Bang Hendri, Nando, Fedy) akan menuju Tambora, 5 orang teman dari Indosat, aku, Mbak Titik dan Edy menuju Rinjani. Nana (Tim Tambora) yang harusnya naik pesawat Adam Air menghubungi Bang Hendri, menyampaikan bahwa dia ketinggalan pesawat yang jadwalnya jam 06.25

Pesawat kami Delay, hal ini membuat teman-teman dari Highcamp khawatir mengingat mereka harus terbang jam 10.45 dari Surabaya ke Mataram. Sekitar jam 08.30 pihak Air Asia mempersilahkan kami untuk sarapan disebuah restoran tidak jauh dari ruang tunggu. Makanan yang diberikan sangat sederhana, nasi putih, sebuah udang yang berukuran sekitar 7 cm dan sedikit sayur. Tampaknya pihak Air Asia tetap tidak ingin rugi meski melakukan kesalahan. Selesai sarapan, saat kami kembali keruang tunggu, hampir semua penumpang sudah berjalan menuju pesawat, padahal kami tak mendengar adanya pengumuman atau panggilan.

Selama dipesawat, terlihat wajah-wajah cemas ditempat duduk paling belakang :p. Setelah pesawat landing, Bang Hendri berusaha menghubugi pihak Air Asia untuk mempercepat bagasi mereka ke pesawat Lion yang akan ditumpangi. Usaha Bang Hendri berhasil, mereka bisa ikut dalam pesawat. Namun karena salah info, teman-teman dari Indosat tidak berhasil, mereka ketinggalan penerbangan yang sama dengan Bang Hendri.

Terdampar Di Surabaya

Di bandara Juanda kami mendapat kabar dari Nana, bahwa dia akan tiba jam 12an dan naik pesawat malam ke Mataram. Rencana jalan-jalan diSurabaya pun kami batalkan. Kami menunggu Nana. Kami juga memutuskan tidak meninggalkan bandara karena khawatir ketinggalan pesawat, seperti yang baru saja dialami teman-teman. Akhirnya Nana mendarat sekitar jam 11 lewat sekian-sekian. Kami segera berkumpul mendengarkan “jeritan hati” Nana yang harus membayar 1 juta lebih untuk mendapatkan tiket baru.

Teman pendaki Surabaya, Bambang, yang sudah sering menemani kami dalam pendakian didaerah Jawa Timur, datang dengan gaya dan senyum khasnya. Dia memang sedang mengerjakan suatu proyek disekitar bandara. Pertemuan yang meriah sekali. Bambang kemudian membawakan kami nasi bebek. Hidangan yang mengingatkan aku pada Surabaya dan pendakian-pendakian ke daerah Jawa Timur. Tidak lama kemudian Bambang kembali ketempat kerjanya. Kami juga bertemu Drew, teman kantor mas Tofan yang pernah ikutan dalam acara pendakian ke gunung Gede April lalu. Orang Australia keturunan Pakistan ini kembali dari liputan di Probolinggo, namun karena gejolak akibat penembakan penduduk didaerah tersebut, dia ketinggalan pesawat. Kami sempat ngobrol beberapa menit

Jam 17.30 kami meninggalkan Surabaya, Nana dan 5 orang Tim Indosat yang masih menunggu penerbangan mereka. Pesawat Batavia Air yang membawa kami terlihat tua dan kecil. Entah pesawat jenis apa yang kami tumpangi itu. Yang jelas ukurannya lebih kecil dari pesawat-pesawat domestik yang pernah aku tumpangi.

Jam 19.30 waktu setempat, kami tiba dibandara Selaparang, Lombok-Nusa Tenggara Barat. Mobil carteran yang dipesan sudah menunggu. Segera kami menuju desa Sembalun. Di Masbage, kami singgah dirumah Hilal (porter) untuk menjemput logistic yang telah kami percayakan untuk dibeli. Kami disuguhi pecel yang ada kangkung khas lomboknya. Kangkung lombok berukuran lebih besar dari daerah lain. Setelah makan dan mandi, perjalanan dilajutkan kembali. Kami tiba di Sembalun lewat tengah malam, tim porter membawa kami kesebuah rumah kosong milik kenalan mereka untuk beristirahat.

Menuju Plawangan Sembalun (2 Juni 2007)

Jam 5 pagi keesokan harinya, diantara belai angin yang menggigit, kami bangun untuk bersiap-siap. Packing lalu masak sup bubur instant. Pendakian dimulai jan 07.00, cuaca sangat cerah. Tim Indosat berpisah dengan kami, karena mereka memulai pendakian dari pos pendaftaran. Sebenarnya tubuh tidak cukup segar untuk memulai pendakian hari ini, mengingat sudah dua malam aku tidak tidur cukup. Suasana desa tidak sempat kami perhatikan, hanya beberapa rumah terlihat dipinggiran jalan yang sudah beraspal. Gunung Rinjani terlihat berdiri gagah didepan kami, menjanjikan tanjakan yang pasti aduhai. Perjalanan awal cukup ringan karena jalan yang landai, sepanjang jalan terlihat punggungan – punggungan bukit didominasi ilalang. Pohon sangat jarang sehingga membebaskan mata memandang kesegala arah

Sekitar jam 10.00 kami tiba di pos 1, pos adalah semacam pondok yang terbuat dari papan dengan atap seng tanpa dinding. Disini porter memasakkan mi instant. Setelah makan, kami melanjutkan perjalanan masih dengan semangat membara (halah :p). Kami melewati pos 2, tanpa singgah langsung menuju pos 3. Matahari sangat menyengat. Jalan mulai menanjak sehingga keringat bercucuran ditubuh kami. Disepanjang jalur ada semacam sungai tak berair yang sepertinya bekas aliran lahar. Didasar sungai terdapat pasir berwarna hitam dan abu-abu.

Kami tiba dipos 3 jam 12.30 dan beristirahat sambil makan makanan kecil sebagai pengganti makan siang, lalu berjalan kembali jam 14.00. Jalan mulai menanjak tinggi. Kami harus mendaki beberapa bukit dengan kemiringan sekitar 50-70 derajat. Karena banyaknya bukit yang harus dilewati dan tanjakan yang panjang, maka jalur ini dinamai “jalur penyiksaan”. Punggungan demi punggungan semakin lama semakin menanjak dan terasa seperti tidak ada habisnya. Gunung mulai ditumbuhi beberapa pohon yang didominasi pohon pinus. Tetapi ilalang masih menjadi tumbuhan utama

Disepanjang jalan kami banyak bertemu turis asing dan porter yang membawakan barang-barang mereka. Porter-porter membawa barang-barang dengan 2 buah keranjang dari rotan yang digabungkan dengan sebuah bambu, lalu kemudian dipikul dibahu. Kita bisa melihat barang-barang berupa sleeping bag (yang ukurannya relatif besar jika dibandingkan dengan ukuran sleeping bag saat ini), tenda, dan makanan. Setiap porter kelihatannya membawa buah nenas, entah mengapa buah ini jadi pilihan utama, mungkin karena lebih awet. Mereka juga membawa ulekan cabe yang terbuat dari batu, kecap dengan botol kaca berukuran besar. Aku berfikir, seandainya saja porter-porter itu mengakali dengan memindahkan kecap ke botol aqua, mengganti ulekan dengan yang terbuat dari kayu, dan berbagai macam cara lainnya, untuk mengurangi beban mereka, mungkin beban mereka tidak seberat saat itu.

Saat istirahat aku sempat ngorol dengan seorang porter. Umurnya sekitar 40 tahun, badannya terlihat kuat dan sehat, kulitnya hitam legam, dia tidak memakai baju, hanya celana pendek dan sendal jepit seperti juga porter-porter lain. Aku menanyakan apakah beban yang dibawanya berat, dia menjawab berat sekali. “kalau ada pekerjaan lain mbak, saya juga nggak mau kerja kayak gini” katanya. Menurutnya bayaran Rp 60,000/hari sangat tidak layak untuk beban yang mereka bawa. “Apalagi untuk turis bule, 100, 000, – juga nggak mahal buat mereka” katanya. Lalu dia mengatakan bahwa porter-porter sudah meminta agar tarif dinaikkan ke suatu badan yang mengatur, diantaranya jumlah upah para porter. Permintaan kenaikan upah tersebut sedang diproses oleh badan tersebut. Entah badan apa yang mengatur hal tersebut, mungkin kementrian kebudayaan & pariwisata?

Sekitar jam 6 kami sampai di Plawangan Sembalun, sebuah plank nama berdiri memberitahukan kami sudah sampai. Disinilah kami berencana bermalam. Tenda sudah hampir selesai didirikan ketika aku tiba. Tempat tenda ditengah apitan dinding tanah yang menghalangi kami dari angin. Malam itu kami disuguhi nasi goreng dengan sedikit irisan telur rebur diatasnya. Menu yang tak terlalu jelek. Aku menginginkan sayur sebenarnya. Tapi tetap menghabiskan sepiring yang diberikan padaku. Berbeda dengan pendakian lainnya, kali ini kami bisa santai didalam tenda tanpa mengurusi makanan. Menjelang tidur kami mempersiapkan bawaan untuk bekal diperjalanan menuju puncak esok paginya; jacket, rain coat, kamera, air minum dan makanan kecil. Jam 21.00, kami mendengar tim dari Indosat tiba. Mereka mendirikan tenda tidak jauh dari kami, disebelah tim Malaysia.

Menuju Puncak (03 Juni 2007)

Jam 02.00 pagi alarm membangunkan. Dengan enggan aku berganti kostum ke pakaian lapangan.yang lembab dan dingin. Udara tidak terlalu dingin, entah berapa suhunya, tapi kami tidak menggigil ketika keluar tenda. Jelas suhu ketika itu masih lebih hangat jika dibandingkan dengan Ranu Kumbolo ketika aku mendaki Semeru awal September 2005, atau kerinci di pos 2, ketika aku berangkat menuju puncaknya.

Pukul 03.00, dengan headlamp dikepala dan jacket membungkus tubuh, kami mulai berjalan. Pertama-tama kami menaiki satu punggungan bukit yang berdebu dan berkerikil. Kemudian punggungan – punggungan lainnya menunggu didepan. Semakin lama tanjakan semakin terjal dan berpasir. Tim pangrango adalah pendaki pertama berangkat, kemudian disusul tim kembar 5, Indosat. Tim Malaysia yang beberapa diantaranya lebih pantas menghuni panti jompo malah menyalib kami. Titik-titik cahaya senter terlihat didepan dan dibelakang. Saat matahari mulai muncul dan perasaan sabar mulai diuji oleh tanjakan berpasir yang sangat panjang, pemandangan danau Segara Anak mulai terlihat disebelah kanan. Cukup menghibur dan membuat mata ingin selalu memandang. Disebelah kiri terlihat Desa Sembalun, dan punggungan-punggungan yang telah kami lalui dihari pertama. Pemandangan yang paling tidak enak adalah melihat kedepan.

Aku melihat mbak Titik dan Edy beberapa ratus meter didepanku, meski jauh namun terlihat jelas karena tidak ada yang menghalangi pandangan, hal itu membuat perasaan capek bertambah. Ditengah langkah yang terseok-seok, aku berkali-kali berhenti, memandang tak percaya pada jalan panjang yang masih ada didepan mata. Deru angin yang kencang menemani suara kaki ku yang bergesekan dengan pasir dan kerikil.

Sekitar jam 08.30 aku tiba dipuncak dan disambut teman-teman lain yang telah duluan sampai. Kamipun berfoto-foto mengabadikan saat-saat dipuncak.

Ketika kami sibuk beradegan genit dan centil untuk difoto, seekor monyet mendekati puncak, entah dari mana datangnya, dia memegang sepotong buah kelapa sambil mengunyah dan menyeringai kearah kami. Kamipun beringsut turun sambil masih tetap menyempatkan diri berfoto-foto ria. Teriakan Edy dari bawah mengingatkan kami bahwa jalan turun masih panjang.

Jalan turun lebih mudah dibanding ketika kami naik. Dengan mudah kami berjalan dan merosot diantara pasir, meski hal itu menyebabkan rasa tak nyaman dikaki. Kabut menemani ketika kami turun

Sekitar jam 12 kami tiba di Plawangan Sembalun kembali, kami disuguhi nasi goreng lagi (? !&! &*($%##!%*) yang rasanya berbeda dengan nasi goreng pada malam hari. Tak satupun dari kami bertiga yang menghabiskan nasi yang ada dipiring masing-masing. Segera kami bersiap turun menuju danau.

Menuju Danau (03 Juni 2007)

Pukul 14.00 kami mulai berjalan menuju danau. Jalanan sangat curam. Kami harus berjalan ekstra hati-hati karena jurang disebelah kiri jalan. Menurut porter, tiang-tiang yang ada disepanjang jalan sebelumnya dipasangi besi untuk pegangan bagi para pendaki. Namun tampaknya ada yang rela repot-repot melepaskan besi-besi tersebut dari tiang-tiang beton lalu dan membawanya entah kemana, mungkin demi sesuap nasi, entahlah.

Setelah menuruni punggungan bukit yang curam sekitar 2, 5 jam, kami tiba disebuah lembah yang indah dan landai. Tak lama kemudian kami melihat danau dikejauhan. Sekitar jam 17.30 kami tiba didanau. Tenda sudah didirikan porter ditepi danau. Segera kami masuk tenda dan berganti pakaian.

Porter kami memanggil dari luar membawakan makanan, ia membawa 2 piring mi instant rebus, segera saja kami kecewa. Setelah berjalan 2 hari penuh, tentunya makan makanan yang bergizi sangat kami harapkan. Mbak Titik langsung menolak mi tersebut. Aku memakan telur dan sayurnya, lalu mengeluarkan piringnya dan mi yang tersisa keluar tenda. Edi memasakkan makanan instant untuk Mbak Titik. Porter terlihat panik, dia lalu menawarkan ayam bakar yang dibawanya, namun nasi belum matang katanya. Sampai kami tidur, nasi yang dijanjikan belum juga matang. Makanan yang mengecewakan tidak mengurangi nikmatnya tidur malam itu

Ke Goa Susu

Esok paginya porter kami sibuk memancing ikan, lalu kami disuguhi sarapan dengan ikan bakar. Kami melepas kepergian tim Indosat yang turun hari itu lewat jalur Torean, lalu berangkat menuju goa susu yang berjarak sekitar 2,5 jam berjalan kaki dari danau. Diperjalanan kami banyak berpapasan dengan penduduk yang kembali dari Goa Susu. Tak ada yang begitu menarik disana, kami tidak masuk ke goa karena sangat terjal dan banyak anak-anak ABG yang nangkring dipintu gua. Terlihat banyak laki-laki tua mandi dikolam air panas.

Kami kembali menuju danau dan menuju pemandian air panas didekat situ. Pemandian tersebut ramai sekali, banyak orang tua dan ada juga ibu-ibu. Terlihat seekor ayam putih diikatkan ke sebuah batu. Beberapa diantaranya terlihat bergegas pergi, mungkin mereka akan turun hari itu, atau menuju goa susu?

Kamipun mandi di kolam air panas dengan pakaian lengkap.Suhu air mencapai 44 derajat celcius ketika Edi mengukur suhunya. Aku kembali kedanau duluan dan mendapati porter sedang membuat telur dadar, mengingat masakan yang diberikan beberapa kali kurang memuaskan, aku berinisiatif untuk menyarankan mereka menambakan irisan tomat kedalam kocokan telur tersebut. Segera mereka melakukan permintaanku. Akupun makan dengan telur dadar dan ayam bakar. Rasanya nikmat sekali. Apalagi ikan yang disediakan dibakar dengan bumbu sambel khas mereka.

Saat aku makan, mbak Titiek & Edi kembali dan bergabung makan bersama. Menjelang sore acara kami hanya bersantai-santai. Malamnya kami memberikan berbagai tips memasak kepada porter sebelum kemudian berangkat tidur.

Turun yang Menanjak (04 Juni 2007)

Hari ini kami akan turun menuju Desa Senaru. Punggungan yang harus kami lalui sangat terjal hingga menciutkan hati. Porter mengatakan, lereng itu biasanya dilalui 3 jam, setelah itu jalannya akan menurun.

Kami sarapan dengan roti crackers goreng isi ikan tuna kalengan dan segelas susu. Jam 8 kami meninggalkan danau melipir kearah kiri, kemudian menaiki bukit kearah Plawangan Senaru. Jalur sangat terjal mencapai 90 derajat, pohon-pohon didominasi pinus. Kami memanjat beberapa punggungan yang hanya memberikan sedikit tanah atau batu untuk dipijak. Jurang yang sangat dalam menganga disebelah kiri membuat alarm hati-hati yang ada diotak segera menyala.Beberapa kali aku terkecoh, mengira bukit yg kudaki adalah tanjakan terakhir, namun kemudian mendapati masih ada punggungan lainnya didepan.

Pemandangan terindah Segara Anakan terlihat ketika kami memandang kebelakang, semua bagian danau terlihat jelas, berbeda jika kita memandang danau dari puncak, karena dari sini, danau terlihat lebih dekat.

Sekitar jam 12 kurang kami tiba di Plawangan Senaru, lalu beristirahat sambil melonggarkan betis yang sejak pagi dipaksa bekerja keras. Disini aku dan mbak Titiek berandai – andai bagaimana jika ada yang menawari kami untuk kembali ke puncak Rinjani dengan bayaran 10 juta. Kalo 10 juta aku mau, kata mbak Titiek. Aku juga mau kataku. Tapi setelah kembali dari sini kita pasti trauma dengan kata Rinjani, kataku. Kita bisa kejang-kejang begitu mendengar kata “Rinjani”. Kamipun tertawa-tawa geli. Lumayan, tawa kami waktu itu membuat fikiran segar dan menambah tenaga untuk berjalan kembali.

Kabut menemani langkah kami meninggalkan tempat itu. Pandangan hanya berjarak sekitar 15 meter hingga menghalangi mata melihat medan sekitar. Didaerah ilalang masih mendominasi dengan tanah yang kering. Setelah berjalan sekitar 1 jam kami tiba di Pos 3. Kami makan siang disitu, porter kembali menawarkan mi instant (again?? @$^&**()*&+). Kami memasak sup jagung persediaan Mbak Titik, lalu melanjutkan perjalanan sekitar jam 15.00

Kemudian jalur berganti memasuki dihutan yang sebenarnya, dengan pohon-pohon besar dan daun yang hijau. Jika dilihat, hutan terlihat seperti hutan didaerah Jawa Barat, namun disini lebih kering. Pohon-pohon dipinggir jalan Perjalanan terasa panjang sekali dan membuat kakiku sakit karena beberapa kali terbentur batu, sejak pos 3 aku memutuskan tidak mengenakan sepatu karena kakiku lecet. Ketika hari mulai gelap, mbak Titiek yang semula berjalan pelan tiba-tiba berjalan cepat mengikuti porter didepannya. Kami ikut berjalan cepat dibelakang. Ternyata kemudian kuketahui hal ini karena mbak Titiek mengikuti nasehat seorang teman yang menyarankan jangan sampai kami berjalan terpisah dengan yang lain

Sekitar jam 20.00 kami tiba didesa Senaru. Porter meminta ijin ke pos pelaporan pendakian untuk menginap namun tidak diijinkan. Kami kemudian kerumah seorang penduduk bernama Bapak Surkati dan mendapat izin menginap disana.

Rumah pak Surkati berada diantara rumah suku Sasak lainnya yang semuanya beratap ilalang. Rumah-rumah berdiri rapat dan rapi, setiap rumah dilengkapi dengan balai-balai dibagian depannya. Dibalai-balai inilah para pria tidur sedangkan aku dan mbak Titiek disediakan tempat tidur didalam rumah. Esoknya aku melihat kumpulan rumah-rumah tersebut ternyata dipagari, yang membuat aku bertanya-tanya, apakah kelompok rumah tersebut diisi oleh penghuni yang memiliki hubungan keluarga? Sayangnya aku tak sempat bertanya. Pemilik meninggalkan rumah sejak pagi karena adik mereka yang juga tinggal dilingkungan itu meninggal dunia karena penyakit typus.

Sekitar jam 11.00 kami meninggalkan Senaru dengan sebuah angkot berpintu belakang. Meski angkot ini terlihat tua, namun membuat kami menahan nafas karena dipacu oleh sang supir bak pembalap F1.

Ditempat pemberhentian angkot ini, kami mencari rumah makan yang bisa membantu kami mengisi baterai hand phone. Jadi yang kami tanya waktu memasuki rumah makan bukan jenis makanan, tetapi apakah disana bisa mencharge hand phone. Beruntung, sebuah rumah makan kecil mempunyai listrik yang kami harapkan. Sambil makan sambil kami bertanya-tanya mengenai jurusan angkot menuju Gili Trawangan dan Bali, karena Edi akan menuju Bali untuk terbang ke Jakarta keesokan harinya, sedangkan aku & mbak Titiek akan ke Gili Trawangan.

Menuju Gili Trawangan (05 Juni 2007)

Kami berpisah dengan Edi dan porter disitu, kemudian naik ojek menuju Anyar. Di Anyar, saat menunggu bis, beberapa orang pria menyapa kami, tampaknya 2 orang cewek berransel besar cukup mengusik rasa ingin tahu mereka. Kami menyambung dengan bis jurusan Pamenangan yang juga mengangkut kambing-kambing yang ditaruh diatas bis. Perjalanan cukup jauh melintasi jalan yang dekat dengan pantai, yang memberikan pemandangan indah buat kami. Sekitar 1,5 jam kemudian kami tiba di Pemenang yang dilanjutkan dengan Cidomo menuju tempat penyebrangan. Pemilik Cidomo mengatakan ongkos 10,000 untuk 2 orang, namun diperjalan tiba-tiba mengatakan ongkos 20,000/org karena harus membayar uang masuk kelokasi pelabuhan. Kami berkeras menolak karena dia sendiri yang menyebutkan ongkos hanya Rp 10,000. Sampai dipelabuhan, kami tidak menemukan pemungutan retribusi. Setelah berbantahan dengan keras, akhirnya dia diam saja ketika kami membayar hanya Rp 10,000,-

Kami membeli tiket penyeberangan seharga Rp 8,000,- dan menunggu hingga jumlah penumpang cukup untuk menyebrang. Kapal yang kami gunakan adalah kapal motor yang bermuatan sekitar 35 orang. 2 pria remaja menawarkan kalung berbandul batok dan tulang kepada kami. Dikapal kami ngobrol dengan seorang laki-laki yang berkerja di Gili Trawangan, dia menyarankan Penginapan bernama “Creative” pada kami. Penyeberangan memakan waktu sekitar 45 menit. Kami tiba dipulau dan didekati banyak orang yang menawarkan penginapan, ada juga Cidomo yang menawarkan mengantar mencari penginapan. Akhirnya kami menemukan penginapan “Creative” dan mendapat kamar dengan harga Rp 60,000/kamar, dengan tempat tidur 2 buah, tanpa AC, yang ada hanya kipas angin. Kamar cukup luas, bersih dan berdiri terpisah-pisah dengan kamar-kamar lainnya.

Setelah menaruh barang-barang, aku & mbak Titiek berjalan-jalan dipinggir pantai sambil ngobrol. Pantai pulau ini berpasir putih dan berair biru bening yang membuat kita ingin segera nyemplung untuk merasakan sejuknya. Kami duduk dipinggir pantai sampai matahari pergi, kemudian kembali kepenginapan. Sebelum tidur kami menonton video pendakian kami. Aku SMS-an dengan Fedy dan mendapat info tim Highcamp akan menyusul kami

Keesokan harinya saat sarapan, kami menemukan papan yang berisi penawaran snorkeling ke 3 pulau yang berdekatan yaitu Gili Trawangan, Gili Mano dan Gili Air. Kami segera mendaftar. Aku sms bang Hendri dan menanyakan apakah mereka akan tiba sebelum jam 10.30 untuk bergabung dalam trip tersebut. Bang Hendri mengatakan pada jam tersebut mereka masih diperjalanan. Sebelum berangkat snorkeling, aku sms Bang Hendri menerangkan letak penginapan kami dan memesankan pada pemilik penginapan bahwa akan ada teman yang datang.

Snorkeling (6 Juni 2007)

Hanya kami berdua turis lokal yang ikut dalam trip ini. Kapal yang kami tumpangi menggunakan kaca dibagian tengahnya sehingga kami bisa melihat laut dari kaca tersebut. Beberapa kali aku melihat ikan tertabrak perahu kami, membuat aku membayangkan sebesar apa pengaruh kapal-kapal besar terhadap ikan-ikan dan mahluk laut lainnya. Kapal kemudian berhenti disatu titik, lalu pembimbing mempersilahkan kami untuk menikmati pemandangan dalam laut selama 1 jam. Pemandangan yang menakjubkan buatku ketika melihat berbagai ikan berwarna-warni berenang-renang diantara karang. Maklum, ini adalah pengalaman snorkeling pertamaku. Sekitar 1 jam kemudian kami kembali naik keperahu, melanjut ketitik berikutnya. Dititik kedua kami diberitahu bahwa kura-kura sering terlihat ditempat itu. Tidak lama aku menikmati pemndangan bawah laut ditempat ini, karena perasaan mual yang menyerang entah kenapa. Saat aku bertanya-tanya mengapa rasa itu menyerangku, tiba-tiba aku merasakan sengatan seperti kejutan listrik ditangan kananku. Aku berenang kearah perahu dan naik keatas. Tanganku memerah dan bentol-bentol. Pria pengendali kapal mengatakan bahwa sengatan ditanganku adalah sengatan ubur-ubur, dia memberikan minyak angin sambil memberi saran agar aku tidak menyentuh bagian yang tersengat.

Tidak lama kemudian yang lain disuruh naik keatas perahu karena banyaknya ubur-ubur. Kami melanjut ke tempat berikutnya. Disini aku tidak turun dan memilih merekam kegiatan yang ada dengan handy cam mbak Titiek. Setelah selesai di spot ketiga, kami menuju gili Air untuk makan siang. Seorang penjual accessories menawarkan dagangannya pada kami, dia beruntung bertemu kami karena mbak Titiek memborong banyak kalung yang terbuat dari batu-batu, sedangkan aku hanya membeli beberapa.

Waktu untuk makan siang relatif lama hingga membuat aku dan mbak Titiek bosan, kami pun berenang-renang disekitar perahu. Beberapa orang bule juga ikutan mandi-mandi bersama kami, sambil memperlihatkan adegan film 17 tahun keatas 😉

Sekitar jam 16.00 kami menuju Gili Trawangan lagi, dipenginapan kami melihat Nana sedang duduk didepan salah satu kamar. Mereka sudah tiba, bahagianya bertemu mereka lagi. Anak Highcamp lainnya sudah bermain kepantai, sedangkan Nana baru saja selesai mencuci pakaian dan perlengkapannya. Kami ngobrol sebentar kemudian menyusul yang lainnya kepantai. Kemudian aku dan mbak Titiek ikut bersnorkeling lagi dengan yang lain.

Malam itu setelah makan siang kami bersantai disebuah café dan memilih duduk di tempat semacam gazebo, kami ngobrol sampai beberapa orang mulai menyerah dan tergeletak dilantai gazebo sambil memeluk bantal. Sekitar jam 12 malam, kami kembali kepenginapan lalu tidur.

Batal Berangkat ke Bali (08 Juni 2007)

Rencananya kami akan pulang pagi itu, tapi tim Highcamp mengundurkan rencana mereka. Mereka mengajak untuk menginap 1 malam lagi sambil menghitung-hitung waktu perjalanan ke Bali (tiket pesawat aku dan mbak Titiek dari Bali). Kami memutuskan tetap berangkat, karena takut ketinggalan pesawat seperti teman-teman seperjalanan kami ketika menuju Mataram.

Selesai packing, semua mengantar aku & mbak Titiek ke tempat menunggu kapal. Tiket dibeli, namun penumpang tak juga ada, sampai jam 14.00 kami segera ragu untuk melanjutkan perjalanan ke Bali mengingat resikonya jika kami tiba malam hari disana. Dengan berat hati kami akhirnya memutuskan untuk berangkat esok pagi. Kami kembali kepenginapan, berganti baju dan melanjutkan acara dengan…..SNORKELING lagi!!! Hehehe…

Kali ini snorkeling dilakukan dipantai yang tidak jauh dari dermaga. Ada tambahan 2 kano yang disewa, membuat suasana meriah. Berkali-kali kami berjalan kaki kearah kiri pulau, kemudian mengikuti arus sambil melihat-lihat pemandangan didalam laut. Setelah capek bersnorkeling, kami gantian main kano, kemudian snorkeling lagi. Begitu terus berganti-ganti. Setelah matahari tenggelam, acara dipantai terpaksa dihentikan, seandainya matahari bisa dipaksa untuk lembur…. ;-))< o:p>

Kami mengembalikan peralatan snorkeling, tapi ditempat itu ada meja untuk tenis meja. Mbak Titiek dan Fedy bermain tenis, dengan wasit Yadi. Pasangan yang bertempur kemudian berganti, Fedy dan Yadi sekarang yang diwasiti oleh Mbak Titiek. Kemudian pasangan berganti-ganti terus. Sementara aku menonton kedinginan. Sekitar 1 jam kemudian baru permainan selesai. Kami kembali kepenginapan, mandi dan melanjutkan acara dengan main kartu. Permainan kartu jenis yang baru kukenal, hingga membuat aku kena tugas mengocok terus 😦 (saat menulis catper ini, tangaku masih sakit gara-gara kena tabok tangan Bang Hendri..Hikzz)

Selanjutnya kami ke café dipinggiran pantai, menikmati bulan yang sedang kelihatan setengah bundar.

Jangan Tinggalkan Kami Wahai Pesawat…. (09 Juni 2007)

Jam 7 kami sudah siap menyebrang, ombak lumayan besar menerjang kapal yang kami tumpangi. Beberapa orang bahkan kecipratan ombak hingga pakaiannya basah. Dibangsal 2 buah taksi Blue Bird yang dipesan bang Hendri sudah menunggu. Segera kami naik salah satu taksi dan melesat pergi. 1 taksi lagi membawa Nana dan Fedy ke bandara Selaparang. Supir taksi memacu taksi dengan kecepatan tinggi. Jalan yang kami lalui naik turun mengikuti bentangan alam dan membuat kami mual karena belum sempat sarapan. Kami banyak melewati pinggiran pantai, diantaranya pantai Senggigi.

Sekitar Jam 10.00 kami tiba di Padang Bay, membeli tiket dan berpisah dengan Bang Hendri yang segera menuju Bandara. Kami membeli nasi bungkus diwarung kemudian masuk kedalam ferry penyebrangan. Begitu tiba didalam kami dikerubuti pedagang makanan dan air botolan. Beberapa laki-laki (yang kemudian kami ketahui adalah pengamen) duduk didepan kotak penyimpanan pelampung didepan kami dan berusaha mengajak ngobrol. Aku dan mbak Titiek makan dan mengacuhkan mereka. Pria-pria itu sama sekali tidak segan memandangi kami, hal yang juga sering terjadi diberbagai tempat didaerah-daerah.

Ferry melaju dengan lambat sekali, entah mengapa, mungkin karena berat beban atau besarnya tubuhnya. Kami segera jatuh tertidur. Jam 15.00 pulau Bali sudah didepan mata kami, ferry melambat namun berputa-putar dan tidak merapat kepantai hingga jam 16.00. Dipelabuhan, ada pemeriksaan KTP yang dilakukan beberapa pria dengan motif baju batik yang sama. Entah siapa mereka ini, dari Departemen Perhubungan, kepolisian atau kelurahan? Tidak ada informasi. Kami hanya menunjukkan KTP lalu bergegas mencari angkutan ke Ubung. Perjalanan berlangsung sekitar 1,5 jam. Sesampai di Ubung kami menunggu jemputan temennya mbak Titiek, mbak Maya yang juga sempat aku kenal waktu kegiatan pengadaan perpustakaan di didesa Sawarna oleh milis Pangrango. 30 menit kemudian mbak Maya datang. Kami segera masuk kemobil dan melaju menuju bandara. Pesawat kami berangkat jam 19.20. Aku meminta mbak Maya untuk singgah jika ada tempat pembelian oleh-oleh. Tapi tampaknya waktu tidak memungkinkan karena jarak bandara cukup jauh. Jam 18.45, aku mulai deg-degan, mobil melaju, mbak Titiek menelepon ke Air Asia untuk menanyakan apakah ada delay. Tidak ada delay, dan pesawat tidak berangkat jam 19.20 tapi 19.15. Jam 18.55, mbak Maya menyadari dia salah jalan, dia memang baru sebulan lebih tinggal di Bali. Dia panik dan berbicara sendiri, aku & mbak Titiek hanya diam, mungkin sibuk meredakan perasaan kami masing-masing. “Kayaknya elo harus nginep semalem di kost-an gue Tik, gue beliin lu tiket nanti kalo ketinggalan pesawat” katanya sambil sibuk menyetir.

19.10 samapi dibandara, dengan gerakan super kilat aku turun dari mobil, membantu mengambil carrier yang diserahkan mbak Titiek dan berlari secepat yang aku bisa menuju pintu masuk. Aku menaruh carrier dan ransel kecilku di baggage scanning dan tergesa melewati gate metal detector. Meraih carrier dan ranselku kembali dan mencari tempat cek in air asia dengan mata. Mbak Titiek tampaknya menghadapi masalah dengan gate metal detector yang berbunyi ketika dia lewat. Aku berlari lagi menuju tempat cek in. Petugas yang menerima mengatakan kami sudah terlambat. Cek in ditutup 45 menit sebelum keberangkatan, katanya. Suaranya tak kalah panik dengan suara kami. Kami menjelaskan situasi kami diperjalanan. Tolong dong Mas ditanyain kelapangan, masih bisa nggak? Dia memanggil rekannya lewat HT. “Ada tambahan 2 orang lagi, masih bisa nggak?” Katanya. Jantung kami berdetak sama cepatnya dengan nafas. “Masih, masuk aja, kata petugas diseberang”

Kami segera menaruh carrier untuk diberi label, dan berlari menuju ruang tunggu. Pemeriksaan lagi! Kulewati dengan berlari, mbak Titiek diberhentikan lagi karena metal detector yang berbunyi. 4A adalah ruang tunggu kami, tapi aku tidak menemukan petunjuk arah dengan angka dan huruf itu. Yang ada hanya angka 5. Mataku berputar mencari-cari, tidak ada!. Ada 1 pintu menuju lapangan yang sedang dilalui penumpang yang mengantri untuk masuk menuju pesawat, aku langsung menuju kedepan dan menunjukkan tiket pada penjaga yang sibuk mengambil boarding pass para penumpang. “Pak pesawat kami mau berangkat, kami terlambat” kataku menyodorkan tiket , dengan maksud kami diberi jalan. Petugas menjawab dengan tenang “ dari belakang mbak, antri aja”. Ternyata penumpang yang sedang antri itu adalah penumpang pesawat yang sama dengan kami. Segera aku mundur kebelakang dan mengambil tempat dibarisan. Mba Titiek berdiri disebelahku. Kami sama-sama tertawa.

Dipesawat kami masih meredakan perasaan deg-degan sambil berbicara satu sama lain tentang tiket yang hampir saja hangus. Disebelah kami duduk 1 keluarga bule yang terdiri dari Bapak-Ibu dan 4 anaknya yang berwajah mirip satu sama lain. Cukup aneh melihat bule dengan anak sebanyak itu. Salah satu anak bule itu, seorang gadis cilik berumur sekitar 7 atau 8 tahun duduk disebelahku, matanya penuh pengamatan, namun kelihatan ragu dan polos, dia sepertinya mengamati semua hal, termasuk kami. Dia juga punya adik berumur 3 atau 4 tahun yang berwajah polos dan membuat mata ingin selalu memandang. Melihat rombongan keluarga ini memberi suasana tersendiri pada penerbangan kali ini.

Pesawat tidak juga berangkat, pilot menyampaikan melalui mikrofon bahwa ada 2 orang penumpang yang naik kepesawat tidak sesuai dengan nama yang tertera di tiket. Penumpang tersebut diturunkan dan mereka harus mengeluarkan bagasi penumpang tersebut. Bagaimana bisa penumpang itu bisa lolos dari pemeriksaan dan bisa sampai naik kepesawat? Seorang penumpang berlogat Malaysia didepan kami terlihat gelisah dan memanggil pramugari untuk menanyakan masalah yang ada. Bapak Bule dengan banyak anak itu juga terlihat gelisah dan bertanya-tanya pada diri sendiri. Sekitar 30 menit kami menunggu, akhirnya pesawat berangkat.

Pramugari memperagakan petunjuk penggunaan alat-alat keselamatan dengan bahasa inggris yang memalukan. Baik cara pengucapan maupun intonasi yang terdengar aneh dan berbeda jauh dengan nada bahasa inggris yang lazim. Apakah mereka tidak bisa menemukan pramugari yang mampu berbahasa inggris dengan baik?

Kami tiba dibandara sekitar jam 08.00.Aku berpisah disitu dengan mbak Titiek karena aku mengambil bis jurusan Blok M dan Mbak Titiek jurusan Pasar Minggu. JAKARTA! Here I come J

Terimakasih untuk semua yang mengiringi perjalanan kali ini:

Sang penguasa semesta, yang telah mengijinkan aku menegok ciptaannya lagi

Mbak Titiek yang telah menjadi teman seperjalanan yang asyik selama 9 hari, teman curhat, mulai dari masalah kerja, masa lalu hingga masa depan 😀

Edi yang pendiem, yang sudah menjadi pengawal 2 cewek selama pendakian Rinjani

Teman-teman Highcamp ; Bang Hendri (yang udah baik bgt mengantarkan kita dari Bangsal ke Lembar), Nana (yang selalu centil tapi bijaksana bgt, masih pengen jalan ama kamu Na), Bang Kamser ( yang udah traktir di café, walau menolak nemenin kita ajep-ajep) Fedy (yang udah membimbing waktu snorkeling), Yadi yang lucu banget (juga menemani snorkeling dan rela kanoe/kayaknya dibebani tubuhku

Tentu saja, teman – teman Gempita (Gema Pencinta Alam yang selalu memberi dukungan meski diriku jauh, aku masih selalu merindukan kalian)

Teman-teman dari milis Pangrango yang memberi dukungan dan memonitor selama perjalanan ini

Perjalanan Rina Sandra Simanungkalit (anggota Gempita Angkatan VIII)

Tinggalkan komentar